AZAN magrib berkumandang menelusuri celah kecil rumahku. Aku harus buru-buru ke kamar mandi untuk wudhu. Seusai salat, aku bergegas membereskan atribut yang aku pakai buat beribadah. Langkah terakhir yang aku lakukan adalah ke luar kamar. Di luar sana kudapati Ibu yang sedang asyiknya berdandan.
“Sya! Ibu pergi dulu, ya. Jaga Wini, jangan sampai ia ke luar malam lagi. Nanti Ibu lagi yang bakalan susah mencarinya!”
Setiap malam begitu. Memberikan nasihat kepada anaknya agar jangan keluar malam. Tapi malah dia sendiri yang berbuat seperti itu.
“Oh ya, Sya! Jangan lupa kunci pintu rumah. Jaga rumah baik-baik. Jangan sampai ada orang asing yang masuk!”
“Baik, Bu!” jawabku dengan nada sedikit kesal.
Seperti itulah potret Ibuku. Wanita yang 15 tahun belakangan ini kupanggil Ibu. Wanita yang sudah melahirkan sekaligus membesarkanku. Begitu tega meninggalkanku dan Wini, adikku yang masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian. Wini masih perlu kasih sayang lebih dari seorang Ibu. Tapi Ibu setiap malam kerjaannya selalu kelayapan. Jarang di rumah menemaniku dan juga adikku yang baru berumur tujuh tahun. Sungguh aku tak tahu apa yang dilakukan Ibu di luar rumah. Alasannya selalu sibuk kerja. Tapi aku tak yakin kalau itu benar. Mana ada kerjaan hingga pukul 11 malam. Apalagi pekerjaan Ibu hanya sebagai Pegawai Tata Usaha sebuah SMA di perkampungan kumuh yang tak jauh dari gang rumah yang kami tinggal.
“Sya! Kalau kamu lapar. Rebus mie saja, ya! Tuh di atas meja sudah ada satu kardus. Ibu baru saja beli di warung Kak Tatiek!”
“Tiap malam makannya mie. Bosan tahu, Bu. Aku juga pengen makan masakan Ibu!” Menatap Ibu dengan tatapan kosong penuh kekesalan.
“Ibu nggak sempat masakin makanan buat kamu dan adikmu, Sya. Kamu kan tahu kalau Ibu akhir-akhir ini harus kerja lembur. Sudahlah Sya, nggak usah manja. Kamu sekarang udah besar jadi jangan sampai kamu bergantung sekali sama Ibu.”
“Lagi-lagi jawabannya seperti itu.”
Ibu memang tampak cantik sekali malam ini. Wajahnya banyak dipenuhi timbunan kosmetik. Mewarnai setiap guratan wajahnya. Keriput pun nyaris hilang tak tampak sedikit pun.
Tiit,… tiit, … titit.
Ada suara klakson mobil di depan rumahku. Mendengar suara yang memang berasal dari depan rumahku itu. Ibu langsung bergegas ke luar. Dia berlari meninggalkanku dan Wini yang berada di ruang keluarga. Karena merasa curiga, aku pun akhirnya menyusul. Aku menuju ruang depan. Mengintip di balik tirai. Kudapati di luar sana seorang laki-laki paruh baya, membukakan pintu mobil untuk Ibu. Sama sekali aku tak mengenal siapa sebenarnya lelaki yang tampak dari kejauhan dan remang-remang lampu itu. Sosok laki-laki yang jelas bukan suami Ibuku, Ayahku.
Selang beberapa menit sepeninggal Ibu. Tiba-tiba terdengar bunyi orang yang mengetuk pintu. Yang jelas terdengar dari arah luar.
Tok,… tok, … tok.
“Any bodyhome?” teriaknya.
“Siapa sich? Sok Inggris banget!”
Mendengar suara yang mirip dengan suara Bapakku itu. Aku beranjak dari tempat dudukku menuju ke ruang tamu. Meninggalkan Wini yang sedang asyik nonton. Tak sabar ingin secepatnya tahu siapa orang itu. Dengan hati-hati aku bukakan pintu. Aku khawatir kalau yang datang adalah orang jahat. Biar bagaimanapun aku harus ingat pesan Ibu.
”Siapa di luar?” tanyaku lantang.
“Pokoknya buka aja! Masa kamu nggak kenal dengan suara saya?”
Orang itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah menguji keberanianku.
“Baiklah, akan aku bukakan pintu. Tunggu sebentar!”
“Bapak!” teriakku. Akhirnya ketakutanku terjawab sudah. Ternyata yang datang tiada lain dan tiada bukan adalah Bapak. Bapak memang selalu usil denganku.
“Bapak, kenapa cepat sekali pulang. Bukannya lusa Bapak baru balik kemari?”
Bapak tak menjawab pertanyaanku. Mungkin aja Bapak masih sangat lelah. Bapak butuh istirahat setelah seharian bekerja di tempat pelelangan ikan. Aku sangat sayang sama Bapak. Dia sudah sangat tua untuk bekerja di tempat itu. Sejak remaja dia sudah bekerja di situ. Hanya demi menghidupkan anak dan istri, Bapak rela bertahan di tempat itu. Aku tahu Bapak hanya tidak mau kalau dianggap sebagi suami yang hidup di bawah ketiak istri. Walaupun dia sudah tua, tapi masih tetap semangat untuk bekerja.
Bapak memang berbeda sekali dengan Ibu. Bapak adalah sosok yang patut kubanggakan. Bapak orangnya sangat baik, tidak egois dan sulit percaya terhadap apapun kalau tanpa ada bukti yang jelas. Bapak serasa begitu akrab dengan anak-anaknya. Nyaris tak ada duka kalau bersama Bapak.
“Sya! Ibumu ke mana? Kok dari tadi dia tidak kelihatan!”
“Ibu pergi sama, …”
“Sama siapa?” tanya Bapak.
“Nggak sama siapa-siapa kok Pak. Tadi Ibu pergi kerja. Katanya sich kerja lembur.” Hampir saja aku buka mulut. Seusai menjawab pertanyaan Bapak. Aku langsung ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat untuk Bapak.
“Sya! Kamu di mana?” teriak Bapak.
“Aku di dapur, Pak. Lagi bikinin teh buat Bapak.” Kujawab juga panggilan Bapak, meski dada ini terasa sesak. Setelah membuat teh, aku langsung menuju ke meja makan kecil di dapur. Di sana sudah ada Bapak yang sudah menunggu secangkir teh hangat. Akupun lekas menghidangkannya buat Bapak.
“Ada apa, Pak. Kenapa Bapak memanggilku?”
“Nggak ada apa-apa. Hanya saja bapak kepikiran dengan gunjingan orang kampung. Mereka bilang Ibumu suka keluar dengan laki-laki. Ibumu sering naik mobil bersama seorang laki-laki di perempatan jalan. Ada yang mengatakan kalau laki-laki yang bersama Ibumu adalah Sardi. Tapi Bapak tidak percaya begitu saja. Kalau tidak ada bukti yang jelas, sulit bagi Bapak untuk percaya sama omongan orang lain.”
Mendengar perkataan Bapak. Hatiku terasa pedih sekali. Aku tak sanggup melihat Bapak dibohongi terus sama Ibu. Bapak begitu percaya dengan Ibu. Hingga Ibu berbohong sekalipun Bapak tetap masih menaruh kepercayaan pada Ibu.
“Bapak sebaiknya tidur saja. Soal Ibu tidak perlu Bapak pikirkan. Anggap saja omongan para tetangga itu hanya gunjingan belaka. Bukan fakta yang sebenarnya.”
Mendengar ucapanku, Bapak pun bergegas ke kamar untuk istirahat sekaligus menenangkan pikiran.
Orang di sekitar tempatku tinggal memang begitu. Mereka suka sekali mencampuri urusan orang lain. Maklum saja daerah yang aku tempati adalah sebuah desa kecil yang masih taat akan norma-norma. Jadi, kalau ada sesuatu yang tidak wajar terjadi, mereka suka mempergunjingkannya. Biar bagaimanapun juga, aku harus senada dengan pemikiran mereka. Tidak baik kalau perempuan sudah bersuami pergi malam dengan laki-laki lain.
Meskipun sudah larut malam, aku juga masih setia menunggui Ibu. Jam dinding pun sudah menunjuk angka 11 malam. Tapi Ibu belum juga pulang. Ibu sama sekali tidak peduli dengan suami dan anak-anaknya. Terkadang aku merasa benci dan jijik dengan Ibu. Meski bagaimana lagi, sekalipun begitu, ia tetap Ibuku juga. Aku tidak dapat menghindari rasa kantuk yang menyergapku. Tanpa kusadari aku sudah tertidur pulas di sofa tua di depan kamarku.
“Sya, bangun, ini sudah pagi?” terdengar suara Ibu.
Mendengar suara Ibu aku langsung terbangun.
“Ibu kapan pulangnya? Sejak tadi malam aku sudah menunggu Ibu,” tanyaku memelas.
“Jam 12 malam, “ jawabnya dengan tatapan tanpa rasa bersalah.
Tak berapa lama Ibu membangunkan aku, kemudian dia pergi lagi. Tak sempat pamitan dan mencium tangan Bapak. Kali ini aku yakin Ibu pergi sendirian. Tidak mungkin pergi dengan Om Sardi. Karena hari ini, Bapak ada di rumah. Ingin sekali aku mempertanyakan kekesalanku ini kepada Ibu. Tapi aku tak sanggup. Tentu ini akan jadi pemicu pertengkaran di antara Bapak dan Ibu. Aku masih ingin melihat Bapak dan Ibu terus bersama sampai ajal menjemput.
“Sya! Ibumu ke mana lagi. Bapak belum sempat bertemu dengannya. Bapak tadi telat bangun.”
Selang beberapa menit sepeninggal Ibu. Tiba-tiba terdengar bunyi orang yang mengetuk pintu. Yang jelas terdengar dari arah luar.
Tok,… tok, … tok.
“Any bodyhome?” teriaknya.
“Siapa sich? Sok Inggris banget!”
Mendengar suara yang mirip dengan suara Bapakku itu. Aku beranjak dari tempat dudukku menuju ke ruang tamu. Meninggalkan Wini yang sedang asyik nonton. Tak sabar ingin secepatnya tahu siapa orang itu. Dengan hati-hati aku bukakan pintu. Aku khawatir kalau yang datang adalah orang jahat. Biar bagaimanapun aku harus ingat pesan Ibu.
”Siapa di luar?” tanyaku lantang.
“Pokoknya buka aja! Masa kamu nggak kenal dengan suara saya?”
Orang itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah menguji keberanianku.
“Baiklah, akan aku bukakan pintu. Tunggu sebentar!”
“Bapak!” teriakku. Akhirnya ketakutanku terjawab sudah. Ternyata yang datang tiada lain dan tiada bukan adalah Bapak. Bapak memang selalu usil denganku.
“Bapak, kenapa cepat sekali pulang. Bukannya lusa Bapak baru balik kemari?”
Bapak tak menjawab pertanyaanku. Mungkin aja Bapak masih sangat lelah. Bapak butuh istirahat setelah seharian bekerja di tempat pelelangan ikan. Aku sangat sayang sama Bapak. Dia sudah sangat tua untuk bekerja di tempat itu. Sejak remaja dia sudah bekerja di situ. Hanya demi menghidupkan anak dan istri, Bapak rela bertahan di tempat itu. Aku tahu Bapak hanya tidak mau kalau dianggap sebagi suami yang hidup di bawah ketiak istri. Walaupun dia sudah tua, tapi masih tetap semangat untuk bekerja.
Bapak memang berbeda sekali dengan Ibu. Bapak adalah sosok yang patut kubanggakan. Bapak orangnya sangat baik, tidak egois dan sulit percaya terhadap apapun kalau tanpa ada bukti yang jelas. Bapak serasa begitu akrab dengan anak-anaknya. Nyaris tak ada duka kalau bersama Bapak.
“Sya! Ibumu ke mana? Kok dari tadi dia tidak kelihatan!”
“Ibu pergi sama, …”
“Sama siapa?” tanya Bapak.
“Nggak sama siapa-siapa kok Pak. Tadi Ibu pergi kerja. Katanya sich kerja lembur.” Hampir saja aku buka mulut. Seusai menjawab pertanyaan Bapak. Aku langsung ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat untuk Bapak.
“Sya! Kamu di mana?” teriak Bapak.
“Aku di dapur, Pak. Lagi bikinin teh buat Bapak.” Kujawab juga panggilan Bapak, meski dada ini terasa sesak. Setelah membuat teh, aku langsung menuju ke meja makan kecil di dapur. Di sana sudah ada Bapak yang sudah menunggu secangkir teh hangat. Akupun lekas menghidangkannya buat Bapak.
“Ada apa, Pak. Kenapa Bapak memanggilku?”
“Nggak ada apa-apa. Hanya saja bapak kepikiran dengan gunjingan orang kampung. Mereka bilang Ibumu suka keluar dengan laki-laki. Ibumu sering naik mobil bersama seorang laki-laki di perempatan jalan. Ada yang mengatakan kalau laki-laki yang bersama Ibumu adalah Sardi. Tapi Bapak tidak percaya begitu saja. Kalau tidak ada bukti yang jelas, sulit bagi Bapak untuk percaya sama omongan orang lain.”
Mendengar perkataan Bapak. Hatiku terasa pedih sekali. Aku tak sanggup melihat Bapak dibohongi terus sama Ibu. Bapak begitu percaya dengan Ibu. Hingga Ibu berbohong sekalipun Bapak tetap masih menaruh kepercayaan pada Ibu.
“Bapak sebaiknya tidur saja. Soal Ibu tidak perlu Bapak pikirkan. Anggap saja omongan para tetangga itu hanya gunjingan belaka. Bukan fakta yang sebenarnya.”
Mendengar ucapanku, Bapak pun bergegas ke kamar untuk istirahat sekaligus menenangkan pikiran.
Orang di sekitar tempatku tinggal memang begitu. Mereka suka sekali mencampuri urusan orang lain. Maklum saja daerah yang aku tempati adalah sebuah desa kecil yang masih taat akan norma-norma. Jadi, kalau ada sesuatu yang tidak wajar terjadi, mereka suka mempergunjingkannya. Biar bagaimanapun juga, aku harus senada dengan pemikiran mereka. Tidak baik kalau perempuan sudah bersuami pergi malam dengan laki-laki lain.
Meskipun sudah larut malam, aku juga masih setia menunggui Ibu. Jam dinding pun sudah menunjuk angka 11 malam. Tapi Ibu belum juga pulang. Ibu sama sekali tidak peduli dengan suami dan anak-anaknya. Terkadang aku merasa benci dan jijik dengan Ibu. Meski bagaimana lagi, sekalipun begitu, ia tetap Ibuku juga. Aku tidak dapat menghindari rasa kantuk yang menyergapku. Tanpa kusadari aku sudah tertidur pulas di sofa tua di depan kamarku.
“Sya, bangun, ini sudah pagi?” terdengar suara Ibu.
Mendengar suara Ibu aku langsung terbangun.
“Ibu kapan pulangnya? Sejak tadi malam aku sudah menunggu Ibu,” tanyaku memelas.
“Jam 12 malam, “ jawabnya dengan tatapan tanpa rasa bersalah.
Tak berapa lama Ibu membangunkan aku, kemudian dia pergi lagi. Tak sempat pamitan dan mencium tangan Bapak. Kali ini aku yakin Ibu pergi sendirian. Tidak mungkin pergi dengan Om Sardi. Karena hari ini, Bapak ada di rumah. Ingin sekali aku mempertanyakan kekesalanku ini kepada Ibu. Tapi aku tak sanggup. Tentu ini akan jadi pemicu pertengkaran di antara Bapak dan Ibu. Aku masih ingin melihat Bapak dan Ibu terus bersama sampai ajal menjemput.
“Sya! Ibumu ke mana lagi. Bapak belum sempat bertemu dengannya. Bapak tadi telat bangun.”
Video Ngentot -“Ibu pagi-pagi sekali pergi kerja. Ibu hanya sempat membangunkanku agar tidak terlambat pergi ke sekolah. Ibu titip pesan kalau hari ini dia akan pulang telat lagi. Pak aku mandi dulu, ya. Mau pergi sekolah.”
Bapak tidak menyahut pamitanku ke kamar mandi. Bapak seperti orang yang termenung sendiri. Aku seperti bisa membaca masalah dari wajahnya yang tampak lusuh. Kulihat Bapak dari kejauhan. Kupandangi ia sedang menikmati secangkir kopi yang dibuatkan Ibu sebelum pergi kerja. Hanya secangkir minuman itu yang terhidang di atas meja. Lagi-lagi ibu tidak sempat membuat sarapan untuk kami.
“Kak Aisya, Wini boleh pinjam tas kakak nggak buat ke sekolah. Soalnya tas Wini udah sobek. Oh ya kak, Ibu ke mana sich? Sudah seharian aku tidak ketemu Ibu?” tanya Wini yang datang menghampiriku saat aku sedang berhias diri.
“Ibu kerja! Sudahlah Win, nggak usah nanya! terus ntar telat ke sekolah. Nih, tasnya. Kebetulan kakak punya dua.”
Setelah mengambil tas yang dipinjamnya dariku. Adikku itu pun berlalu meninggalkanku di dalam kamar. Tanpa ada makanan sebagai pengisi perutku. Aku pun terus melangkah keluar rumah. Pergi berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil. Aku tak sempat pamitan dengan Bapak. Dia sudah keburu pergi ke tempat pelelangan ikan. Belum sampai ke sekolah di seberang jalan, kulihat Ibu di dalam mobil bersama dengan Om Sardi. Aku begitu penasaran. Aku ingin sekali mengikutinya. tanpa kepikiran akan sekolah, aku langsung menaiki bis. Kebetulan sekali bis itu searah dengan mobil ibu. Akupun turun di Halte. Aku terus mengikuti mobil Om Sardi. Sekarang aku baru yakin kalau ternyata laki-laki yang menjemput ibu itu adalah Om Sardi.
Perselingkuhan Ibu memang sudah lama tercium olehku. Tapi baru kali ini aku tahu kalau yang menjadi teman selingkuhannya adalah Om Sardi. Aku sungguh tak menyangka orang yang begitu dekat dengan keluargaku itu tega merusak rumah tangga orang lain. Tapi aku juga tak bisa semata-mata menyalahkannya. Ibuku juga termasuk orang yang patut disalahkan dalam hal ini. Tanpa dapat kupungkiri Ibu memang orang yang sangat cantik. Pantas saja banyak laki-laki yang bertekuk lutut di hadapannya. Memang Ibu masih kelihatan sangat muda dibanding Bapak. Maklum saja ketika menikah, mereka terpaut usia 20 tahun. Ibu baru berumur 20 tahun, sedangkan bapak sudah 40 tahun. Tapi itu bukan alasan bagi Ibu untuk mengkhianati Bapak. Walau bagaimanapun keadaan Bapak, ia tetaplah suaminya.
“DIK, kamu tidak boleh masuk ke dalam dengan seragam sekolah!” terdengar suara Pak Satpam dari belakang yang mencoba menghadangku.
“Tolong Pak Satpam ijinkan saya masuk. Saya ingin bertemu dengan seseorang,” pintaku memohon.
Aku begitu memaksa ingin tetap masuk ke dalam hotel yang disinggahi Ibu dan Om Sardi. Tetap saja Pak Satpam tidak mengizinkan aku masuk. Aku tak akan menyurutkan keinginanku untuk memergoki Ibu jalan dengan laki-laki lain. Tanpa terasa sudah lima menit aku menunggui mereka keluar. Sudah beberapa pasangan yang keluar dari hotel itu. Anehnya Ibu nggak juga keluar.
***
“Bagaimana sayang. Fasilitas hotel ini menarik bukan. sebaiknya kamu di sini aja. Kamu tinggal beberapa hari lagi di sini. Bersama saya tentunya!”
“Hotel ini memang sangat memuaskan. Tapi bagaimana, ya. Aku tidak bisa berlama-lama denganmu. Bagaimana dengan suamiku?”
Suara itu seperti suara Ibu. Tapi aku sedikit tak yakin. Sebab aku duduk di teras dan membelakangi mereka. Akhirnya aku menoleh ke belakang. Ternyata dugaanku benar. Suara itu adalah suara Ibu. Puncak kesabaranku tak bisa kubendung lagi. Kubalikkan badanku dan menoleh ke belakang. Dengan rona wajah yang memerah dan bara api yang membakar penglihatanku.
“Aisya! Kenapa kamu di sini?”
“Sudahlah Bu. Nggak usah nutup-nutupi kesalahan Ibu lagi. Sekarang aku sudah tahu kalau ternyata Ibu selingkuh dengan Om Sardi. Perselingkuhan Ibu memang sudah lama tercium olehku. Tapi aku tetap saja diam tanpa memberitahukannya kepada Bapak. Aku tidak mau melihat Ibu dan Bapak bertengkar. Tapi kali ini Ibu takkan aku maafkan. Aku tak akan membiarkan Ibu terus-terusan membohongi Bapak!”
Seperti ada api di mata aku dan Ibu. Seperti tanpa rasa bersalah Ibu mencoba menenangkan aku.
“Dengar dulu penjelasan Ibu. Ini tak seperti yang kamu bayangkan. Ibu tak ada hubungan apa-apa dengan Om Sardi!”
Meskipun sudah tertangkap basah. Ibu tetap dengan gaya bicara seperti orang yang tak pernah melakukan kesalahan apapun.
“Pokoknya aku benci sama Ibu,” sambil berteriak perlahan kuundurkan langkahku satu demi satu menjauhi Ibu. Berlari dengan berlinang air mata dan goresan luka yang teramat pedih, menyayat seisi hatiku. Ibu mencoba menghalangiku. Tapi sekarang tekadku sudah bulat. Akan kuadukan semuanya pada Bapak rasanya tak sanggup semua ini kupikul sendiri. Tempat terakhir yang bisa kusinggahi untuk mencurahkan segala penat ini hanya pada Bapak seorang.
Tiba-tiba saja ada seseorang yang menegurku dari belakang.
“Sya! Kamu mau ke mana. Kenapa buru-buru sekali?”
“Hai, Indah. Kok tiba-tiba di ini?”tanyaku dengan mencoba menyembunyikan air mata.
“Tadi aku nggak sengaja lewat di sini. Aku melihatmu dari kejauhan. Akhirnya aku putuskan untuk menghampirimu dech. Kamu tampak sedih, Sya. Ada apa? Apa kamu ada masalah. ceritain donk sama aku. Siapa tahu aku bisa membantu.”
“Nggak ada apa-apa kok. Aku baik-baik saja!”
“Kalau gitu aku pergi dulu ya. Buru-buru nich.”
Indah pun meninggalkanku sendiri di trotoar ini. Dia memang anak yang baik, dan peka sekali terhadap suatu masalah yang menimpa sahabatnya. Tapi biarpun begitu aku tetap tak bisa menceritakan problem hidupku. Semenjak aku tahu perselingkuhan Ibu. Sikapku memang berubah total. Aku yang dulunya ceria, kini berubah mejadi seorang gadis yang pemurung sekaligus pemarah.
Tanpa kusadari. Akhirnya aku sampai juga ke tempat Bapak. Di atas perahu kudapati Bapak sedang menyulam jala ikan. Rupanya di tengah hari yang terik dan siraman matahari ini, Bapak mau pergi berlayar. Kuhampiri Bapak dengan langkah tertatih-tatih karena kakiku begitu lelah berjalan dari hotel menuju ke tempat kerja Bapak. Butuh dua jam untuk berjalan kaki menuju ke tempat itu. Tepat pukul 10 pagi aku sampai di tempat Bapak bekerja. Tanpa berpikir panjang langsung saja kuhampiri Bapak. Wajah Bapak tampak sangat letih sekali. Keringat bercucuran membasahi semua pori di wajahnya. Kalau kupikir-pikir, rasanya memang kurang etis kalau kutambah lagi dengan masalah Ibu. Tapi aku tetap tak bisa. Aku harus menceritakannya. Mendengar perselingkuhan Ibu wajah Bapak memerah seketika. Hatinya seperti terbakar.
Tepat jam 10 malam, Bapak tiba di rumah. Di bawah remang lampu petromak. Kudapati Bapak sedang duduk sendiri. Sepertinya ia menunggu Ibu.
“Jam segini kamu baru pulang. Di mana tanggungjawab kamu sebagai seorang Ibu?” teriakan suara Bapak, terdengar begitu histeris.
“Harus berapa kali lagi aku katakan. Aku harus kerja lembur. Ini semua kulakukan juga demi keluarga kita. Apa kamu mau lihat kita hidup miskin terus?” jawaban Ibu bagaikan orang yang berusaha membela diri.
Aku yang berada di belakang pintu kamar berusaha mendengar pembicaraan mereka. Meski tidak jelas, aku terus berusaha untuk mendengarnya. Sekalipun aku harus menempelkan telingaku di permukaan pintu. Pertengkaran itu terus berlanjut. Padahal jam di kamarku saja sudah menunjuk ke angka 12 malam. Bising, gaduh, dan riuh mewarnai suasana rumahku. Membuat para tetangga pada protes.
“Kamu memang belum berubah, Jah. Mestinya kamu bersyukur, kalau dulu aku mau menikahimu dan menerimamu apa adanya. Sekalipun kamu sudah mengandung Aisya, anakmu dengan laki-laki yang menjadi langgananmu di rumah bordir tempat kamu bekerja dulu.”
“Kamu jangan pernah mengungkit-ungit masa lalu lagi. Kenangan pahit itu sudah kukubur dalam-dalam. Bersikaplah dewasa sedikit, Pak,” tantang Ibu dengan intonasi suara yang terdengar semakin meninggi.
“Aku bukannya mau mengungkit luka lama. Tapi kelakuanmu yang membuatku terpaksa mengatakan ini semua. Sikapmu masih seperti pelacur. Ciih,… aku tak sudi punya istri seperti kamu. Sebaiknya kita cerai saja!”
Bapak tidak menyahut pamitanku ke kamar mandi. Bapak seperti orang yang termenung sendiri. Aku seperti bisa membaca masalah dari wajahnya yang tampak lusuh. Kulihat Bapak dari kejauhan. Kupandangi ia sedang menikmati secangkir kopi yang dibuatkan Ibu sebelum pergi kerja. Hanya secangkir minuman itu yang terhidang di atas meja. Lagi-lagi ibu tidak sempat membuat sarapan untuk kami.
“Kak Aisya, Wini boleh pinjam tas kakak nggak buat ke sekolah. Soalnya tas Wini udah sobek. Oh ya kak, Ibu ke mana sich? Sudah seharian aku tidak ketemu Ibu?” tanya Wini yang datang menghampiriku saat aku sedang berhias diri.
“Ibu kerja! Sudahlah Win, nggak usah nanya! terus ntar telat ke sekolah. Nih, tasnya. Kebetulan kakak punya dua.”
Setelah mengambil tas yang dipinjamnya dariku. Adikku itu pun berlalu meninggalkanku di dalam kamar. Tanpa ada makanan sebagai pengisi perutku. Aku pun terus melangkah keluar rumah. Pergi berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil. Aku tak sempat pamitan dengan Bapak. Dia sudah keburu pergi ke tempat pelelangan ikan. Belum sampai ke sekolah di seberang jalan, kulihat Ibu di dalam mobil bersama dengan Om Sardi. Aku begitu penasaran. Aku ingin sekali mengikutinya. tanpa kepikiran akan sekolah, aku langsung menaiki bis. Kebetulan sekali bis itu searah dengan mobil ibu. Akupun turun di Halte. Aku terus mengikuti mobil Om Sardi. Sekarang aku baru yakin kalau ternyata laki-laki yang menjemput ibu itu adalah Om Sardi.
Perselingkuhan Ibu memang sudah lama tercium olehku. Tapi baru kali ini aku tahu kalau yang menjadi teman selingkuhannya adalah Om Sardi. Aku sungguh tak menyangka orang yang begitu dekat dengan keluargaku itu tega merusak rumah tangga orang lain. Tapi aku juga tak bisa semata-mata menyalahkannya. Ibuku juga termasuk orang yang patut disalahkan dalam hal ini. Tanpa dapat kupungkiri Ibu memang orang yang sangat cantik. Pantas saja banyak laki-laki yang bertekuk lutut di hadapannya. Memang Ibu masih kelihatan sangat muda dibanding Bapak. Maklum saja ketika menikah, mereka terpaut usia 20 tahun. Ibu baru berumur 20 tahun, sedangkan bapak sudah 40 tahun. Tapi itu bukan alasan bagi Ibu untuk mengkhianati Bapak. Walau bagaimanapun keadaan Bapak, ia tetaplah suaminya.
“DIK, kamu tidak boleh masuk ke dalam dengan seragam sekolah!” terdengar suara Pak Satpam dari belakang yang mencoba menghadangku.
“Tolong Pak Satpam ijinkan saya masuk. Saya ingin bertemu dengan seseorang,” pintaku memohon.
Aku begitu memaksa ingin tetap masuk ke dalam hotel yang disinggahi Ibu dan Om Sardi. Tetap saja Pak Satpam tidak mengizinkan aku masuk. Aku tak akan menyurutkan keinginanku untuk memergoki Ibu jalan dengan laki-laki lain. Tanpa terasa sudah lima menit aku menunggui mereka keluar. Sudah beberapa pasangan yang keluar dari hotel itu. Anehnya Ibu nggak juga keluar.
***
“Bagaimana sayang. Fasilitas hotel ini menarik bukan. sebaiknya kamu di sini aja. Kamu tinggal beberapa hari lagi di sini. Bersama saya tentunya!”
“Hotel ini memang sangat memuaskan. Tapi bagaimana, ya. Aku tidak bisa berlama-lama denganmu. Bagaimana dengan suamiku?”
Suara itu seperti suara Ibu. Tapi aku sedikit tak yakin. Sebab aku duduk di teras dan membelakangi mereka. Akhirnya aku menoleh ke belakang. Ternyata dugaanku benar. Suara itu adalah suara Ibu. Puncak kesabaranku tak bisa kubendung lagi. Kubalikkan badanku dan menoleh ke belakang. Dengan rona wajah yang memerah dan bara api yang membakar penglihatanku.
“Aisya! Kenapa kamu di sini?”
“Sudahlah Bu. Nggak usah nutup-nutupi kesalahan Ibu lagi. Sekarang aku sudah tahu kalau ternyata Ibu selingkuh dengan Om Sardi. Perselingkuhan Ibu memang sudah lama tercium olehku. Tapi aku tetap saja diam tanpa memberitahukannya kepada Bapak. Aku tidak mau melihat Ibu dan Bapak bertengkar. Tapi kali ini Ibu takkan aku maafkan. Aku tak akan membiarkan Ibu terus-terusan membohongi Bapak!”
Seperti ada api di mata aku dan Ibu. Seperti tanpa rasa bersalah Ibu mencoba menenangkan aku.
“Dengar dulu penjelasan Ibu. Ini tak seperti yang kamu bayangkan. Ibu tak ada hubungan apa-apa dengan Om Sardi!”
Meskipun sudah tertangkap basah. Ibu tetap dengan gaya bicara seperti orang yang tak pernah melakukan kesalahan apapun.
“Pokoknya aku benci sama Ibu,” sambil berteriak perlahan kuundurkan langkahku satu demi satu menjauhi Ibu. Berlari dengan berlinang air mata dan goresan luka yang teramat pedih, menyayat seisi hatiku. Ibu mencoba menghalangiku. Tapi sekarang tekadku sudah bulat. Akan kuadukan semuanya pada Bapak rasanya tak sanggup semua ini kupikul sendiri. Tempat terakhir yang bisa kusinggahi untuk mencurahkan segala penat ini hanya pada Bapak seorang.
Tiba-tiba saja ada seseorang yang menegurku dari belakang.
“Sya! Kamu mau ke mana. Kenapa buru-buru sekali?”
“Hai, Indah. Kok tiba-tiba di ini?”tanyaku dengan mencoba menyembunyikan air mata.
“Tadi aku nggak sengaja lewat di sini. Aku melihatmu dari kejauhan. Akhirnya aku putuskan untuk menghampirimu dech. Kamu tampak sedih, Sya. Ada apa? Apa kamu ada masalah. ceritain donk sama aku. Siapa tahu aku bisa membantu.”
“Nggak ada apa-apa kok. Aku baik-baik saja!”
“Kalau gitu aku pergi dulu ya. Buru-buru nich.”
Indah pun meninggalkanku sendiri di trotoar ini. Dia memang anak yang baik, dan peka sekali terhadap suatu masalah yang menimpa sahabatnya. Tapi biarpun begitu aku tetap tak bisa menceritakan problem hidupku. Semenjak aku tahu perselingkuhan Ibu. Sikapku memang berubah total. Aku yang dulunya ceria, kini berubah mejadi seorang gadis yang pemurung sekaligus pemarah.
Tanpa kusadari. Akhirnya aku sampai juga ke tempat Bapak. Di atas perahu kudapati Bapak sedang menyulam jala ikan. Rupanya di tengah hari yang terik dan siraman matahari ini, Bapak mau pergi berlayar. Kuhampiri Bapak dengan langkah tertatih-tatih karena kakiku begitu lelah berjalan dari hotel menuju ke tempat kerja Bapak. Butuh dua jam untuk berjalan kaki menuju ke tempat itu. Tepat pukul 10 pagi aku sampai di tempat Bapak bekerja. Tanpa berpikir panjang langsung saja kuhampiri Bapak. Wajah Bapak tampak sangat letih sekali. Keringat bercucuran membasahi semua pori di wajahnya. Kalau kupikir-pikir, rasanya memang kurang etis kalau kutambah lagi dengan masalah Ibu. Tapi aku tetap tak bisa. Aku harus menceritakannya. Mendengar perselingkuhan Ibu wajah Bapak memerah seketika. Hatinya seperti terbakar.
Tepat jam 10 malam, Bapak tiba di rumah. Di bawah remang lampu petromak. Kudapati Bapak sedang duduk sendiri. Sepertinya ia menunggu Ibu.
“Jam segini kamu baru pulang. Di mana tanggungjawab kamu sebagai seorang Ibu?” teriakan suara Bapak, terdengar begitu histeris.
“Harus berapa kali lagi aku katakan. Aku harus kerja lembur. Ini semua kulakukan juga demi keluarga kita. Apa kamu mau lihat kita hidup miskin terus?” jawaban Ibu bagaikan orang yang berusaha membela diri.
Aku yang berada di belakang pintu kamar berusaha mendengar pembicaraan mereka. Meski tidak jelas, aku terus berusaha untuk mendengarnya. Sekalipun aku harus menempelkan telingaku di permukaan pintu. Pertengkaran itu terus berlanjut. Padahal jam di kamarku saja sudah menunjuk ke angka 12 malam. Bising, gaduh, dan riuh mewarnai suasana rumahku. Membuat para tetangga pada protes.
“Kamu memang belum berubah, Jah. Mestinya kamu bersyukur, kalau dulu aku mau menikahimu dan menerimamu apa adanya. Sekalipun kamu sudah mengandung Aisya, anakmu dengan laki-laki yang menjadi langgananmu di rumah bordir tempat kamu bekerja dulu.”
“Kamu jangan pernah mengungkit-ungit masa lalu lagi. Kenangan pahit itu sudah kukubur dalam-dalam. Bersikaplah dewasa sedikit, Pak,” tantang Ibu dengan intonasi suara yang terdengar semakin meninggi.
“Aku bukannya mau mengungkit luka lama. Tapi kelakuanmu yang membuatku terpaksa mengatakan ini semua. Sikapmu masih seperti pelacur. Ciih,… aku tak sudi punya istri seperti kamu. Sebaiknya kita cerai saja!”
Sungguh aku tak bisa membendung air mataku. Bahwa ternyata aku bukan anak kandung Bapak. Melainkan anak yang dilahirkan dari ibu bekas seorang pelacur. Kuputuskan untuk membawa pergi luka ini. Hatiku pilu mendengar perkataan Bapak. Sebuah kenyataan yang tak bisa terelakkan. Setelah kalimat terakhir yang diucapkan Bapak, aku tak mendengar lagi kalimat yang dia ucapkan selanjutnya. Sebab luka hatiku ini sudah kubawa lari. Aku meninggalkan rumah, tanpa sepengetahuan mereka. Sulit bagiku untuk menerima kenyataan yang telah digariskan Tuhan. Setelah kejadian itu. Aku tak tahu lagi bagaimana keadaan keluargaku. Kutinggalkan Wini sendirian di kamar, yang ternyata hanya adik tiriku.